Sejarah Kentongan Dan Bedug
Hampir di semua masjid, mushala, maupun tabrak di lingkungan warga NU mempunyai sebuah bedug sebagai membuktikan waktu shalat. Kadang juga didampingi oleh kentongan.
Menurut arkeolog Universitas Negeri Malang Dwi Cahyono, akar sejarah bedug sudah dimulai semenjak masa prasejarah, tepatnya zaman logam. Saat itu insan mengenal nekara dan moko yang terbuat dari perunggu, berbentuk mirip dandang dan banyak ditemukan di Sumatra, Jawa, Bali, Sumbawa, Roti, Leti, Selayar, dan Kepulauan Kei. Fungsinya untuk program keagamaan.
Pada masa Hindu, jumlah bedug masih terbatas dan penyebarannya belum merata ke banyak sekali daerah di Jawa. Dalam Kidung Malat, pupuh XLIX, disebutkan bahwa bedug berfungsi sebagai media untuk mengumpulkan penduduk dari banyak sekali desa dalam rangka persiapan perang. Kitab sastra berbentuk kidung, mirip Kidung Malat, ditulis pada masa pemerintahan Majapahit.
Saat itu nama “bedug” belum biasa digunakan. Istilah lainnya ialah “teg-teg”, kelompok membraphone ibarat bedug. Fungsinya sebagai pemberi tanda, atau petanda bunyi (time signal). “Karena Kidung Malat menyebut bedug dan teg-teg, maka keduanya tentu berlainan. Teg-teg sejenis genderang dengan ukuran lebih besar daripada bedug,”
Kemudian penjelajah Belanda, Cornelis de Houtman (1595-1597) dalam D’eeste Boek –sebuah catatan pelayaran Belanda yang pertama ke Nusantara– mencatat keberadaan bedug, bonang, gender, dan gong. Houtman menulis bahwa bedug terkenal dan tersebar luas di Banten. Di setiap perempatan jalan terdapat sebuah genderang yang digantung dan dibunyikan dengan tongkat pemukul yang tergantung di sebelahnya. “Bunyinya menjadi tanda mengenai adanya bahaya, atau merupakan tanda waktu yang dibunyikan pada pagi hari, tengah hari, atau tengah malam,”
Orang China juga punya andil. Seorang China-Muslim Cheng Ho dan bala pasukannnya pernah tiba sebagai utusan dari maharaja Ming. Dialah yang mempertunjukkan bedug di Jawa saat memberi tanda baris-berbaris ke tentara yang mengiringinya. Konon, saat Cheng Ho hendak pergi dan menawarkan hadiah, raja dari Semarang menyampaikan bahwa dirinya hanya ingin mendengarkan bunyi bedug dari masjid. Sejak itulah bedug menjadi pecahan dari masjid mirip halnya bedug di kuil-kuil di China, Korea dan Jepang, sebagai alat komunikasi ritual keagamaan.
Keberadaan bedug lalu dikaitkan dengan Islamisasi yang mulai intensif dilakukan Walisanga sekitar masa ke-15/16. Bedug ditempatkan di masjid-masjid. Fungsinya: mengajak umat Islam melakukan shalat lima waktu. Ini karena, mirip ditulis Kees van Dijk, “Perubahan Kontur Masjid”, dalam Peter J.M. Nas dan Martien de Vletter, Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia, sebelum masa ke-20 masjid-masjid di Asia Tenggara tak mempunyai menara untuk mengumandangkan azan. Sebagai gantinya, masjid-masjid dilengkapi sebuah genderang besar (bedug), yang dipukul sebelum azan dikumandangkan.
Di sejumlah masjid, bedug diletakkan di beranda atau di lantai atas. Ada juga yang diberi rumah kecil, terpisah dari masjid. Jika masjid mempunyai gerbang besar, bedug sering diletakkan di atasnya. “Suara bedug, pada waktu belum ada pengeras suara, lebih nyaring daripada bunyi manusia, dan menjadi alat komunikasi yang penting untuk menandai dan merayakan momen-momen keagamaan,”
Masjid juga sering mempunyai alat komunikasi lain sebagai teman bedug kentongan, yakni semacam tetabuhan yang terbuat dari batang kayu. Alat ini, bersama bedug, dipakai untuk memperingatkan orang-orang sebelum azan berkumandang.
Memukul bedug tampaknya merupakan tradisi lama,penggunaan bedug untuk memanggil orang-orang tiba ke masjid. Suaranya terdengar bermil-mil hingga ke pegunungan.
Di balik bunyi yang dihasilkan ada filosofinya.
“Suara dari Kentongan yang berbunyi
‘Thong – thong – thong’ itu diartikan,
‘ Iki Lho, Musholane / Masjid e isih KOTHONG. Ndang Teko, wes mlebu Wayahe’
(Maknanya: Ini Mushola / Masjidnya masih KOSONG. Bergegaslah datang, sudah masuk Waktu Sholat)
sholat awal waktu itu lebih utama
Kalau bunyi bedung itu terusannya dari ‘Kothong’ ‘Deng – Deng – Deng’ diartikan,
‘Mushola / Masjide Isih Sedeng’
(Maknanya: Mushola / Masjidnya masih Cukup/Muat)
Maksudnya, kita disuruh bergegas tiba ke mushola / masjid lantaran mushola / masjidnya masih kosong dan mushola / masjidnya masih cukup/muat untuk menampung jama’ah untuk sholat berjama’ah.
Selain untuk memberi tahu warga desa atau kampung bahwa waktu shalat sudah tiba, “… pukulan bedug juga menandai awal dan simpulan puasa serta hari raya haji... kebiasaan itu umum berlaku di seluruh pelosok Nusantara,
Konon Kiai Faqih Maskumambang Gresik ternyata mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Hadratussyaikh lantaran senasib dan seperjuangan dalam mencari ilmu serta dengan guru yang sama. Hubungan mereka pun semakin erat tatkala NU didirikan pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 di Kota Surabaya.
Yakni, mereka berdua didaulat oleh para kiai untuk menduduki jabatan Rais Akbar oleh Hadratussyaikh dan Kiai Faqih menerima pecahan sebagai Wakil Rais Akbar. Keakraban mereka dalam menjalankan roda organisasi bukannya tanpa cela. Mereka pernah tidak sepaham dalam menanggapi satu problem yang berafiliasi dengan aturan pemakaian kentongan.
Hadratussyaikh tidak memperbolehkan pemakaian kentongan sebagai alat membuktikan waktu shalat sebelum atau setelah adzan dikumandangkan. Namun, Kiai Faqih beropini lain, yakni memakai kentongan sah-sah saja. Mbah Hasyim mempunyai alasan tersendiri atas pelarangan tersebut, yakni lantaran tidak adanya dalil yang memperbolehkan.
Kiai Faqih pun tidak kalah argumen. Ia memperbolehkan penggunaan kentongan disebabkan oleh kebolehan memakai bedug, jadi diqiyaskan atau disamakan hukumnya. Bila bedug boleh dipakai untuk memanggil shalat hal ini berlaku pula bagi kentongan.
Mbah Hasyim menghormati pendapat Kiai Faqih dengan cara mengundang ulama se-Jombang serta para santri seniornya. Di hadapan mereka ini, Mbah Hasyim menyatakan boleh memakai kedua pendapat tersebut dengan bebas. Namun ada satu syarat yang diminta oleh Mbah Hasyim, yakni kentongan tidak dipakai di Masjid Tebuireng hingga kapan pun.
Pada suatu waktu Kiai Faqih mengadakan satu program dengan mengundang Mbah Hasyim untuk berceramah di Pesantren Maskumambang. Kiai Faqih pun meminta takmir masjid atau mushalla di sekitarnya untuk menurunkan semua kentongan selama Mbah Hasyim berada di Gresik. Sungguh suatu perilaku yang patut diteladani dari kedua tokoh besar NU bagi warga nahdliyin kalau terjadi suatu perselisihan.
Belakangan, tak semua umat Muslim di Indonesia mendapatkan kehadiran bedug di masjid-masjid. Ia erat dengan warga Nahdlatul Ulama (NU), tapi tidak bagi kelompok muslim lain yang menganggap bedug bid’ah. Penggunaan bedug tampaknya sempat menjadi perdebatan hangat di kalangan Islam tradisional dan modernis. NU sendiri, pada Muktamar ke-11 di Banjarmasin Kalimantan Selatan tahun 1936, kembali mengukuhkan penggunaan bedug dan kentongan di masjid-masjid lantaran diharapkan untuk syiar Islam.

